Cerpen Seni

Melukis Mimpi

Oleh : Brenda Marsyiana P.S.

Di tengah keheningan malam, hanya terdengar suara rintik hujan yang menemaniku saat ini. Ku pandangi lukisan yang sedang ku buat tampak tidak seindah dengan apa yang kufikirkan sebelumnya. Sejak kecil Ibu dan Ayahku memang selalu mengajariku melukis. Ayahku adalah seorang arsitek yang tentunya mahir dalam hal menggambar dan Ibuku adalah seseorang yang gemar melukis. Hal itu membuat Ibu dan Ayahku berharap bakat menggambar atau melukis mereka dapat menurun kepadaku. Meskipun hasilnya selalu jelek, tetapi mereka tetap yakin aku akan mempunyai bakat yang sama seperti mereka.

Tidak terasa malam semakin memasuki kesunyian, dan akupun telah selesai melukis. Dengan perasaan campur aduk aku memperlihatkan lukisanku kepada Ayah. Terlihat raut wajah Ayah yang sepertinya tidak suka dengan lukisan tersebut.
“Bagaimana mungkin besok kamu dapat menjuarai lomba lukis poster, jika lukisanmu saja seperti ini!” ucap Ayah dengan nada tinggi. 
Aku hanya bisa terdiam kecewa. Setelah itu aku pun segera menuju kamarku untuk beristirahat.
Terdengar suara adzan berkumandang, tanda waktu shubuh telah tiba. Aku pun terbangun dari mimpi indahku dan segera melaksanakan solat shubuh lalu bersiap-siap untuk pergi sekolah. Aku bersekolah di SMPN 1 Ciraden dan duduk di kelas 7. Hari ini ekskul PMR sekolahku mengadakan berbagai macam perlombaan antarsiswa kelas 7 dan 8 SMPN 1 Ciraden, yang selalu diadakan setiap tahunnya. Salah satu lomba yang diadakan yaitu lomba lukis poster. Dan aku pun telah mendaftarkan diri dalam lomba tersebut. Akhirnya lomba lukis poster pun dimulai. aku sangat terkejut ketika melihat kakak kelasku masuk ke ruangan yang sedang aku tempati. Ternyata dia pun mengikuti lomba ini.
“Hah dia kan ajay? kaka kelasku yang jago menggambar itu kan?” tanyaku dalam hati. Seketika semangatku pudar dan merasa bahwa aku tidak akan menjuarai lomba ini.
Sudah 2 jam terlewati, lomba pun selesai.

Keesokan harinya, setelah upacara bendera panitia perlombaan mengumumkan hasil perlomaan kemarin.
“Dimulai dengan lomba lukis poster, juara ke-3 adalah…. Dahlia dari kelas 7BI”
Aku pun terkejut, perasaanku campur aduk antara senang dan sedih. Sebenarnya aku berharap menjadi juara ke-1, tapi yasudahlah mungkin ini yang terbaik untukku. 
“Lalu juara ke-2 adalah…. Yudistira dari kelas 8B. Dan juara ke-1 adalah…. Ajay dari kelas 8C. Ketiga pemenang ini akan dilombakan kembali minggu depan di SMAN 3 Bojongloa.”
Panitia pun memberikan hadiah kepada para juara. Seluruh siswa memberikan tepuk tangan yang sangat meriah.
“Sudah ku duga, juara ke-1 pasti ajay.” ucap hatiku.
Dan tanpa disadari Ajay pun datang menghampiriku.
“Kamu Dahlia kan? Yang tadi juara ke-3? Kenapa kamu cemberut, seperti tidak suka dengan semua ini? tanya Ajay. 
“Di mimpiku tadi malam, aku menjadi juara ke-1. Tetapi kenyataannya kamu yang menjadi juara 1.” ucapku dengan wajah cemberut.
“Kamu pasti dapat mengalahkanku esok hari.” 
“Tidak mungkin, itu hanya mimpi bagiku.”
“Lukislah mimpimu itu agar bisa menjadi kenyataan.” Ajay tersenyum.
Aku hanya terdiam, dan membalas senyumannya.

Bel sekolah berbunyi, tandanya waktu pulang. Akupun segera bergegas pulang dengan menaiki angkutan umum. Tidak lama kemudian aku pun sampai di rumah.
“Ibu, Dahlia menjadi juara ke-3 dalam lomba lukis poster di sekolah dan minggu depan akan lomba kembali di SMAN 3 Bojongloa.” ucapku penuh semangat.
“Selamat ya, itu merupakan kemenangan pertamamu dalam bidang seni gambar”. balas Ibu.
“Jangan bangga menjadi juara ke-3, menjadi juara ke-1 yang harus bangga.” sambung Ayah.
“Baik Ayah.” ucapku kecewa. Tapi aku tidak mau menampakkan wajah sedih dan aku hanya bisa memendamnya.
***
Tidak terasa tiba saatnya aku lomba lukis poster di SMAN 3 Bojongloa. Aku sama sekali belum mempersiapkannya. Aku tidak berlatih menggambar seperti biasanya, karena aku masih kecewa dengan ucapan Ayah yang selalu saja berkomentar jelek terhadap karyaku. Akhirnya pada saat lomba dimulai aku sangat kebingungan, aku tidak tahu akan menggambar apa. 5 menit berlalu aku masih saja menatapi sebuah kertas putih.
“Ayo cepat mulai menggambar.” ucap Ajay yang duduk di sebelah kananku
“Ah percuma kalo kamu ikutan, aku tidak akan meraih juara ke-1.” balasku.
“Kamu pasti bisa.” sambung Ajay.
Yasudahlah dengan terpaksa aku mulai menggambar. Hingga akhirnya waktu tinggal tersisa 5 menit lagi. Akupun tergesa-gesa menyelesaikannya.
“Waktu habis!” ucap panitia.
Apa daya, gambaran ku belum selesai, akupun sangat kecewa. Aku yakin saat ini aku tidak akan menjadi juara. Dan benar saja, ketika waktu pengumuman, hasilnya aku tidak masuk juara 3 besar. Aku pulang ke rumah dengan tangan hampa dan tidak membawa kabar bahagia untuk kedua orang tuaku.
“Bagaimana hasil lomba tadi?” tanya Ibu.
“Aku kalah.” ucapku.
“Ah payah! Seharusnya kamu tingkatkan menjadi juara ke-1, bukannya malah menurun seperti ini!” ucap Ayah dengan keras.

Sejak saat itu aku memutuskan untuk berhenti menggambar dan melukis. Hari demi hari, bulan demi bulan telah terlewati. Sekarang aku telah duduk di kelas 8. Hingga pada saatnya aku akan berjumpa lagi dengan perlombaan yang diadakan oleh ekskul PMR SMPN 1 Ciraden. Seperti tahun lalu, salah satu perlombaan yang diadakan yaitu lomba lukis poster.
“Hey Dahlia!”
Seseorang memanggilku dari arah belakang. Dan ternyata dia adalah Ajay.
“Iya? Ada apa?” tanyaku bingung.
“Besok semangat ya lombanya!” Ajay menyemangatiku.
“Aku tidak akan mengikuti lomba itu. Aku telah memutuskan untuk berhenti menggambar dan melukis.” 
“Loh kenapa? Bukannya kamu ingin menjadi juara ke-1? Ini kesempatanmu, karena aku tidak akan mengikuti lomba itu.”
“Tidak. Aku tidak mungkin menjadi juara ke-1, aku sudah bilang, itu hanya mimpi bagiku!” bentakku.
“Seorang pemenang tidak akan menyerah! Aku yakin kamu pasti bisa!” ucap Ajay.
“Tapi…” ucapku terpotong.
“Ayolah, aku akan membantumu!” rayu Ajay.
“Yasudah kalau begitu, aku akan melukiskan mimpiku menjadi kenyataan!” ucapku dengan penuh semangat.
“Bagus!” ucap Ajay gembira. 
Sepulangnya di rumah. Aku segera berlatih untuk besok.

Aku terkejut menatap jam dinding yang terpampang di dinding sebelah kanan kamarku.
“Apa? Udah jam empat sore?” aku terkejut.
Aku bangkit dari buku gambarku menuju kamar mandi. Dan keluar dalam keadaan segar. Setelah itu aku kembali lagi. Masih dengan niat menggores crayon di atas lembar itu. Tapi senyumku mengembang begitu memperhatikannya. Tak terasa gambar itu telah selesai. Langsung saja, aku berlari kecil menuju ruang keluarga. Tempat biasa Ibu dan Ayahku bersantai setiap sore.
“Ayah liat deh! Tadi aku buat ini di kamar. Periksa ya?” pintaku.
Ayah memperhatikan dengan seksama, tidak ada reaksi kagum di raut wajahnya. Pikiranku jadi tak tentu arah, berharap untuk pertama kalinya Ayah akan berkata “bagus sekali! Kamu hebat!” tapi tenyata….
“Haduh kamu ini gimana sih! Warna yang kamu padukan lebih kelihatan jorok!” bentak ayah.
“Tapi menurutku ini gambarku yang paling bagus. Aku telah berusaha dengan sebaik-baiknya. Aku yakin kalau gambarku seperti ini, besok aku akan menjadi juara ke-1 dalam lomba itu.” balasku dengan percaya diri.
“Kalau begitu, buktikan besok!” ucap Ayah
Aku kembali ke kamar dengan wajah lesu. Bagaimana tidak? Seharian aku duduk di sudut kamar mengerjakan sesuatu yang dikatakan “lumayan” saja tidak! Aku berbaring di atas ranjang. Kali ini aku menangis hingga membasahi bantal. Aneh! Aku tidak setegar biasanya. Tapi biarlah air mataku ini keluar. Karena ku tahu setelah itu perasaanku mulai tenang dan lega. Tanpa sadar aku mulai terlelap dalam mimpi.

Keesokan harinya, aku bangun pagi-pagi sekali. Karena hari ini aku akan lomba lukis poster. Semangatku mulai terpacu kembali. Setelah semua siap, aku langsung berangkat ke sekolah. Sesampainya di sekolah, aku disambut dengan teman-teman yang menyemangatiku. Namun tidak seperti biasanya, pagi ini aku tak melihat Ajay di sekitar sekolah. Lomba pun dimulai. ku genggam erat-erat pensil yang ada di tanganku sambil ku pandangi kertas putih yang bersih tanpa ada goresan sedikit pun. Ku coba memandangi orang-orang sekelilingku, raut wajah mereka terlihat begitu semangat. Dan ku lihat jam dinding yang ada di depanku, waktu tersisa 2 jam 55 menit lagi. Tanpa pikir panjang, segera ku mainkan pensilku di atas kertas putih itu. Secepat mungkin pensil itu ku gerakkan, karena takut kejadian lomba pada saat di SMAN 3 Bojongloa terulang kembali. Satu-persatu lawanku sudah selesai menggambar. Hingga akhirnya, hanya aku lah peserta yang tersisa. 

Tiba-tiba aku melihat sesosok bayangan manusia mendekatiku, hingga akhirnya dia berdiri tepat di depanku. Aku tidak berani melirik dan melihat siapa orang yang ada di depanku itu. Karena difikiranku, dia adalah panitia lomba yang akan mengatakan “ waktu habis!” dan mengambil gambarku. Tanganku semakin cepat menyelesaikan gambar yang ada di hadapanku.
“Hey” orang yang ada di hadapanku itu memanggilku.
“Sepertinya aku kenal dengan suara ini.” ucap hatiku.
Akupun segera melirik dan melihat siapa yang ada di hadapanku itu. Dan ternyata dia adalah Ajay.
“Ehh kamu, aku kira siapa. Ko kamu bisa masuk ke ruangan ini sih? Padahal kan kamu bukan panitia?” tanyaku bingung.
“Sudahlah jangan banyak Tanya. Cepat selesaikan gambarmu itu.” jawab Ajay.
Aku terlalu tergesa-gesa menyelesaikannya, sehingga gambarku tidak begitu rapi. Tetapi aku tidak memperhatikan hal itu. Yang penting gambarku harus segera selesai.
“Waktu habis!” ucap panitia.
“Alhamdulillah gambarku telah selesai.” ucapku dalam hati.
“Wah hebat! Untungnya kamu tidak kehabisan waktu.” ucap panitia
Aku pun menyerahkan hasil gambarku kepada panitia tersebut, lalu meninggalkan ruangan itu.
Waktu pengumuman pun tiba. Jantungku berdetak dengan cepat dan aku terus berdoa.
“Juara 3 lukis poster adalah dengan nomor peserta… 003 yaitu Ujang dari kelas 8B.”
“Untung bukan aku.” ucapku dalam hati.
“Juara 2 lukis poster adalah dengan nomor peserta… 024 yaitu Surti dari kelas 7BI.”
“Hah? Bukan aku? Kalau begitu aku tidak akan masuk 3 besar lagi.” ucapku kecewa.
Aku putus asa dan sangat kecewa. Aku tidak mungkin menjadi juara ke-1. Tapi aku tetap berdoa. Semoga saja ada keajaiban untukku.
“Dan yang menjadi juara ke-1 lomba lukis poster adalah dengan nomor peserta… 010 yaitu Dahlia dari kelas 8BI.”
“Hah?” namaku di panggil ke depan dengan wajah yang benar-benar gembira!

Saat diserahkan piala dan hadiah, teman-temanku bersorak dan bertepuk tangan. Serasa menang tingkat Internasional saja. Setelah itu, Ajay pun menghampiriku.
“Akhirnya mimpimu tahun lalu tercapai. Kamu berhasil melukis mimpimu itu menjadi kenyataan. Aku ikut senang. Selamat ya!” ucap Ajay dengan wajah gembira.
“Terima kasih selama ini kamu selalu memberikan semangat untukku. Tanpa jasamu itu, aku tidak akan berhasil!” 
Setelah semua diperbolehkan bubar. Aku berlari kencang menuju rumah dengan piala dan sebungkus hadiah di tanganku, sambil membayangkan pujian apa yang akan dilontarkan Ibu dan Ayah nanti. Tidak lama kemudian aku pun sampai di rumah.
“Ayah! Lihat, aku berhasil menjadi juara ke-1!” 
“Wahh hebat putri Ayah!”
Senang sekali, akhirnya mendengar kata “hebat” dari Ayah.
“Sekarang aku bisa kan membuktikan kalau sebenarnya lukisan ku bagus!”
“Kenapa sekarang? Memang semua lembaran yang kamu lukis bagus kok!” puji Ayah, wajahku berubah menjadi bingung.
“Terus kenapa selama ini Ayah bilang jelek lah, kotor lah, kurang ini lah, kurang itu lah?” tanyaku.
“Kamu mau tahu alasannya?” Ayah menanya balik, aku mengangguk cepat.
“Tidak semua karya akan selalu dipuji orang. Pasti selalu ada kritikkan, saran, dan bahkan makian. Ayah mau kamu terbiasa dengan semua itu.”
Aku tertegun mendengar ucapan Ayah. Berarti selama ini niatnya baik.
“Dan Ayah melihat ketegaran di sikapmu.kamu terus berkarya dan membuat kritikkan itu menjadi salah satu penyemangat. Ayah bangga padamu. Dan sekaranglah Ayah baru mengutarakannya.” tambah Ayah.
Akupun tersenyum lebar mendengar perkataan Ayah tadi. Mulai saat ini aku akan terus melukis mimpi-mimpi indahku lagi agar semua menjadi kenyataan.

Share:

0 komentar